Kata DEMO lengket di dalam dunia mahasiswa,
khususnya ketika dimulai pada era angkatan 66 dan pasca setelah itu. Demo
diambil dari potongan kata demonstrasi, yang artinya mempertunjukkan atau
mempertontonkan sesuatu. Sebelum dipopulerkan oleh (terutama) mahasiswa Indonesia
sampai sekarang ini, sebenarnya kata demonstrasi itu banyak digunakan untuk
mempertunjukkan sesuatu supaya orang lain atau kelompok tertentu paham akan
sesuatu itu. Misalnya, mahasiswa UBB mendemonstrasikan bagaimana cara menanam
jagung hibrida dengan benar di pot percobaan kampus Balun ijuk. Contoh lain,
para pramugari yang sedang mendemonstrasikan bagaimana cara-cara memakai
pelampung keselamatan jika terjadi pendaratan darurat. Demikian sebenarnya
pemahaman terhadap kata demonstrasi ketika digunakan.
Nah, kalau sekarang, pemahaman orang menjadi berbeda. Ketika
ada orang berkata, "wah ada demonstrasi" Pasti
asosiasi di kepala orang-orang yang mendengarnya adalah sekelompok mahasiswa
yang sedang beringas. Mengibar-ngibarkan spanduk dan bendera, berteriak-teriak
sekeras-kerasnya (padahal sudah menggunakan pengeras suara), mencaci maki
pejabat, yang biasanya dimulai pada pagi hari dan selesai pada jam makan siang.
Anehnya pula, dan ini pengakuan para demonstran itu pula. Setelah puas
berteriak-teriak mencaci maki, eee ujung-ujungnya minta nasi bungkus sama yang
didemo itu. Ini namanya pemerasan gaya baru yang lain lagi.
Apakah berdemo seperti itu baik dan benar?. Menurut saya
jelas tidak baik dan tidak benar. Pertama, kita lihat dulu mengapa
tidak benar. Kalau anda mengatakan menyampaikan pendapat itu benar atau dapat
dibenarkan, itu sih benar. Yang saya ingin luruskan adalah anda menggunakan
kata mendemo untuk menyampaikan pendapat. Itulah yang salah. Salah kaprah.
Dulu
di tahun 66 dan beberapa tahun setelahnya 'berdemo' tidak
untuk menyampaikan pendapat, tetapi mendobrak kezaliman. Menyampaikan pendapat
tidak perlu turun beramai-ramai ke jalan, buat apa?, habis tenaga, dana dan
waktu. Apalagi sekarang sudah tidak musimnya, ketinggalan zaman dan terkesan
kampungan. Malu rasanya melihat mahasiswa UBB turun ke jalan, bawa spanduk
kumal, mengganggu lalu lintas, teriak sekeras-kerasnya menggunakan pengeras
suara dengan wajah merah padam, mata mendelik memelototi rektornya. Seperti
rektornya itu berdosa besar dan tidak diakui lagi sebagai ayahandanya.
Huru
hara akhir-akhir ini makin memuaskan hasrat para pencari berita begitu mudahnya
mereka mendapatkan informasi para pendemo yang menentang kenaikan BBM,
mahasiswa contohnya banyak pantauan yang sudah masuk ke lemari brangkas intenet
tinggal pilih.
Ada
mobil yang terbakar di karenakan di rusak oleh pendemo dan genre itumahasiswa,
lalu saking keselnya para aparat ingin memberlakukan adanya tembak di tempat
untuk para pendemo namun hal itu di urungkan, untungnya. Ban motor atau mobil
di bakar lalu menimbulkan api besar, adanya teater yang mengisahkan sosok
pemimpin dan rakyat lalu adanya spanduk dan poster yang bermacam-macam bentuk
tulisan dengan macam kostum pula. itulah warna setiap kali ada demo besar
kadang tak luput dari pengrusakan fasilitas umum seperti mobil dinas pemerintah
lalu fasilitas gedung jika tak ada polisi yang menghadang mungkin bakalan habis
tersambar amarah para pendemo semuanya.
Lalu
timbul di benak saya sebenernya DEMO itu apa sih arti
sesungguhnya? apa sih yang di inginkan para pendemo?
apakah pemandangan itu selalu ada dan di akhiri dengan anarkisme.?
Sekilas tentang demonstrasi itu sendiri..
Unjuk rasa atau demonstrasi ("demo") adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di
hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok
tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula
dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik olehkepentingan
kelompok.
Unjuk rasa umumnya dilakukan
oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakanpemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya.
Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan
lainnya. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengrusakan terhadap benda-benda.
Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa
yang berlebihan.
Nah, akhir-akhir ini di Indonesia ramai dengan
pemberitaan para pendemo buruh atas pekerjaannya. Lalu apa sih yang sebenarnya
mereka inginkan ??
Sepanjang tahun 2012 yang lalu, dunia perburuhan dan
hubungan industrial di Indonesia dihiasi dinamika yang amat tinggi. Aksi-aksi
buruh turun ke jalan-jalan utama dan pusat-pusat pemerintahan di berbagai kota
besar di Indonesia menjadi penanda utamanya. Ada tiga hal yang menjadi tuntutan
buruh melalui aksi-aksinya yaknikenaikan upah, penghapusan
praktik outsourcing tenaga kerja dan tuntutan jaminan sosial.
Tuntutan untuk perbaikan nasib terjadi di tengah pertumbuhan
ekonomi yang stabil di kisaran angka 6.0 % – 6.5% selama lima tahun
terakhir, kecuali untuk tahun 2009. Dalam konteks ini kaum buruh menagih
pemerataan hasil pertumbuhan. Aksi buruh di Indonesia melengkapi dinamika buruh
di Asia Tenggara. Seperti di Indonesia buruh di Thailand, Malaysia bahkan
Singapura bergerak menuntut perbaikan kondisi dan kesejahteraan yang
lebih besar. Aksi buruh di Indonesia sepanjang tahun ini memperlihatkan
dua hal utama yakni lemahnya pemerintah dan menguatnya gerakan buruh.
Lemahnya Pemerintah.
Aksi buruh bagaikan gebrakan yang
membangunkan pemerintah untuk bergerak membenahi berbagai persoalan perburuhan
di Indonesia yang selama ini diabaikan. Seluruh jajaran pemerintah dari
setingkat menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri hingga para kepala
daerah dan kepala dinas instansi terkait dipaksa turun berdialog dengan buruh
untuk mencari jalan keluar penyelesaian persoalan.
Pada saat yang sama aksi buruh juga mengirimkan pesan yang amat jelas
betapa pemerintah amat lemah dalam menegakkan peraturannya sendiri. Sudah
menjadi pengetahuan umum bagaimana pengusaha melanggar ketentuan upah minimum,
melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa prosedur dan syarat yang sudah diatur,
melakukan tindakan anti serikat denganmemecat para aktivis serikat buruh dan menerapkan
outsourcing tenaga kerja yang tidak sesuai dengan peraturan , dan semua itu
terjadi secara massif tanpa tindakan dan sanksi dari
instansi yang berwenang.
Berbagai jalur formal yang tersedia untuk meminta perlindungan pemerintah
jauh dari efektif dan buruh cenderung terus menjadi pihak yang kalah. Upaya
penyelesaian sengketa perburuhan melalui pengadilan hubungan industrial selain
memakan waktu dan biaya yang banyak, jugatercemar korupsi.
Menguatnya Gerakan
Buruh
Lemahnya penegakan peraturan dan tidak
efektifnya jalur formal memaksa buruh mengambil jalur nonformal dengan
mengerahkan kekuatan massa untuk menekan pemerintah agar lebih perduli dan
memberikan perlindungan terhadap hak buruh. Tekanan kekuatan massa
terbukti efektif karena membuat pemerintah bergerak untuk memenuhi tuntutan
buruh dan pendulum kebijakan bergerak ke arah buruh. Tuntutan kenaikan
upah minimum secara signifikan yang di beberapa provinsi mencapai 40–sekitar
rata-rata 40% – dan pengaturan oursourcing tenaga kerja yang lebih ketat,
dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Tekanan massa untuk menuntut kenaikan upah dan mengatur outsourcing tenaga
kerja, sebagaimana dinyatakan oleh Said
Iqbal presiden FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal
Indonesia) – serikat buruh terkuat di Indonesia saat ini – yang juga
presiden KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) hanya merupakan
satu tahap dari strategi gerakan buruh yang menggabungkan konsep-lobby-aksi
(KLA). Tuntutan kenaikan upah dan pengaturan outsourcing dirumuskan dalam
sebuah pemahaman persoalan yang antara lain didasarkan pada hasil penelitian.
AKATIGA telah menghasilkan
penelitian mengenai upah layak (AKATIGA-SPN-GARTEKS-FES 2009) dan praktik
outsourcing (AKATIGA-FSPMI-FES 2010) yang masing-masing memperlihatkan bahwa
upah buruh sektor manufaktur memang masih belum dapat memenuhi kebutuhan hidup
layak dan bahwa praktik outsourcing tenaga kerja telah mendiskriminasi,
menghilangkan kepastian kerja serta menurunkan kesejahteraan buruh. Kedua hasil
penelitian ini digunakan oleh serikat buruh untuk menyusun tuntutan perbaikan
upah dan praktik outsourcing. Tuntutan revisi peraturan menteri no 17/2005
mengenai komponen KHL didasarkan pada hasil survey kebutuhan hidup layak yang
dilakukan AKATIGA bersama Serikat Pekerja Nasional dan Federasi Garmen dan
Tekstil SBSI yang menghasilkan kebutuhan hidup layak sebanyak 8 komponen dan
122 unit kebutuhan sebagai koreksi 7 komponen dan 46 unit kebutuhan yang
ditetapkan dalam peraturan menteri di atas.
Tuntutan pengaturan outsourcing tenaga kerja secara ketat juga dibangun
berdasarkan hasil penelitian AKATIGA bersama FSPMI. Penelitian ini menemukan terjadinya pelanggaran
yang meluas praktik outsourcing tenaga kerja dan kondisi yang amat merugikan
buruh outsourcing karena upah yang diterima hanya 75% dari upah
buruh tetap meskipun melakukan pekerjaan yang sama yakni pekerjaan inti
di bidang produksi. Selain itu buruh outsourcing juga tidak punya kepastian
kerja karena hanya dipekerjakan dalam jangka pendek antara 3 bulan hingga 12
bulan.
Hal ini menunjukkan bahwa gerakan buruh sudah semakin cerdas menyusun strategi
advokasi dan tuntutannya dengan menggunakan hasil penelitian yang sahih. Ini
berarti strategi penguatan gerakan buruh sudah lebih maju dibandingkan proses penyusunan kebijakan
perburuhan yang dibuat
oleh pemerintah yang seringkali tidak jelas asal-mulanya. Undang-undang
13/2003 tentang
Ketenagakerjaan dan rencana revisinya yang selalu gagal merupakan contoh
penyusunan kebijakan yang tidak jelas basis argumentasinya sehingga mudah
dipatahkan dan digugat.
Tampaknya sudah saatnya
pemerintah mengambil pelajaran dari gerakan buruh yang mulai memperjuangkan
haknya dengan mengacu pada bukti-bukti dan hasil penelitian. Rumusan kebijakan
yang menggunakan penelitian yang sistematis dan komprehensif dapat menghasilkan
kebijakan yang memiliki basis yang kuat dan pemerintah tidak ragu untuk
menerapkannya.
Yuk, kita pahami sedikit mengenai buruh yang
efektif J
Setiap tahun para buruh sedunia melakukan
demonstrasi untuk menuntut perbaikan nasib mereka. Secara umum kita sering
melihat demontrasi buruh itu cenderung menjadi kegiatan kontra produktif.
Terutama karena buruh nyaris selalu dicitrakan sebagai lawan bagi management.
Ini ironis. Karena pakem ilmu management mengatakan bahwa buruh itu adalah aset
terpenting bagi perusahaan. Tetapi, antara buruh dengan menangement seolah
nyaris selalu berseberangan.
Ironi yang kedua adalah, kita sering dikelirukan oleh
definisi ’buruh’ yang salah. Menurut anggapan kita, buruh adalah pegawai kelas
rendah di perusahaan. Padahal, sekalipun Anda seorang Direktur Utama sebenarnya
Anda juga adalah buruh seperti mereka. Bedanya? Anda menduduki posisi yang
tinggi, sedangkan mereka berada pada strata yang paling rendah. Paradigma ini
penting, supaya kita semua bisa mendudukan permasalahan buruh ini pada proporsi
yang tepat. Selama management belum benar-benar memandang buruh sebagai aset
paling penting perusahaan, kita tidak akan pernah bisa menemukan keselarasan.
Mengapa demikian? Karena dengan sudut pandang itu management tidak akan
memperlakukan buruh dengan baik. Sedangkan buruh, akan terus menerus merongrong
melalui tuntutan-tuntutan atas perbaikan nasib dan kesejahteraan.
Salah satu penyebab utama mengapa para buruh memilih untuk
turun ke jalan adalah karena mereka tidak memiliki nilai tawar di ruang-ruang
pertemuan. Sehingga jalan menjadi satu-satunya arena pelampiasan. Padahal
setiap kali buruh melakukan demonstrasi, lebih banyak lagi pihak yang mengalami
kerugian. Kasus yang terjadi di Drydock baru-baru ini seharusnya dijadikan
monumen bagi seluruh elemen, baik pelaku industri, management perusahaan,
maupun para buruh secara keseluruhan. Kita tidak harus mengulangi kasus Drydock
untuk membangun proses bisnis yang bermartabat dan saling menguntungkan.
Apakah buruh tidak boleh turun ke jalan? Kadang-kadang turun
ke jalan bisa menjadi pendobrak pintu para pengambil keputusan yang terlalu
angkuh dalam ketertutupannya. Para penyelenggara negara juga terkadang harus
digedor dengan kehebohan besar sebelum memainkan perannya sebagai regulator
tertinggi. Namun, kita harus sudah mulai memikirkan strategi demonstrasi yang
lebih efektif. Yaitu, proses demonstrasi yang tidak usah berdarah-darah. Tidak
menimbulkan kehebohan, serta tidak menyebabkan tertundanya proses produksi
perusahaan. Apakah bisa melakukan demo yang demikian? Bisa. Mari saya
tunjukkan.
Pertama-tama, kita mesti memahami sistem nilai (believe) yang
digunakan dalam pengelolaan bisnis perusahaan. Ada 3 sistem nilai utama yang
dipegang teguh oleh petinggi perusahaan manapun. Pertama, penghematan biaya
(cost effectiveness). Kedua, pengoptimalan produksi (productivity). Dan yang
ketiga, daya saing (competitiveness).
Posisi karyawan memiliki keterkaitan langsung terhadap ketiga
believe itu. Makanya, memberikan gaji serendah mungkin dan menekan ongkos
kesejahteraan karyawan menjadi jalan pintas yang masih diterapkan dibeberapa
perusahaan. Hal ini berkaitan dengan sistem nilai pertama dan kedua.
Bagaimana dengan yang ketiga? Perusahaan apapun,
keberlangsungan bisnis jangka panjangnya sangat ditentukan oleh kemampuan
mereka untuk bersaing. Oleh karenanya, daya saing atau competitivesness
merupakan agenda yang menempati posisi tertinggi didalam benak para pengambil
keputusan atau top management. Sedangkan daya saing itu, tidak pernah bisa
dilepaskan dari peran para karyawan. Oleh sebab itu, jika perusahaan ingin
memiliki daya saing yang tinggi maka satu-satunya cara adalah dengan memiliki
karyawan yang berkualitas tinggi.
Setelah memahami ketiga believes itu, mari kita mulai
merancang strategi untuk melakukan demo karyawan yang lebih efektif. Dimulai
dengan visi. Setiap demo karyawan harus mengikuti visi yang berbunyi:
”Menjadikan Karyawan Sebagai Mitra Sejajar Bagi Perusahaan”. Selanjutnya, misi.
Setiap pelaku demo karyawan harus berpegang teguh kepada misi yang berbunyi:
”Melakukan demonstrasi secara simpatik dan elegan untuk memperjuangkan
kepentingan karyawan dan perusahaan”. Setelah itu, barulah kita membuat grand
strategynya, yaitu: ”Bergerak mengikuti alur berpikir para pengelola
perusahaan”.
Visi dan misi membantu kita untuk menjaga agar demonstrasi
karyawan tetap berada dalam koridor yang benar. Sedangkan strategy memberikan
arahan tentang pelaksanaan demo itu dilapangan. Mari kita membahas taktik demo
efektif sesuai dengan grand strategy yang kita rancang diatas. Kita sudah
mengetahui alur berpikir para top management, yang tiada lain adalah ketiga
believes yang sudah kita bahas tadi. Jika kita mampu mendukung usaha-usaha top
management untuk mewujudkan ketiga believes itu, maka kita akan bisa mewujudkan
Visi untuk menjadikan karyawan sebagai mitra sejajar perusahaan. Bagiamana
implementasinya? Mari, akan saya beberkan
Cost effectivess (believe pertama). Para karyawan harus
memahami bahwa top management yang hebat sudah sejak lama menyadari jika
penghematan biaya itu tidak hanya bisa dilakukan dengan cara membayar gaji dan
kompensasi yang rendah kepada karyawan. Justru yang paling utama adalah
memperbaiki proses produksi, atau proses bisnis yang selama ini diterapkan.
Dibagian mana karyawan bisa berdemo? Karyawan mengambil bagian dengan cara
mendemonstrasikan kemauan untuk memperbaiki cara mereka melakukan pekerjaan.
Misalnya, apakah sebagai seorang karyawan saat ini anda sudah bekerja
dengan sebaik-baiknya? Jika anda masih sering mengobrol dengan teman pada saat
mesin sedang beroperasi, maka itu menunjukkan bahwa cara anda bekerja
menimbulkan resiko biaya bagi perusahaan. Jika terjadi kegagalan produksi
gara-gara kelalain anda itu, maka tujuan top management tidak tercapai. Contoh
lain yang terjadi di pabrik; seorang karyawati mengalami kecelakaan kerja
karena membiarkan rambutnya terurai panjang pada saat mengoperasikan mesin pemintal
benang. Karena kecelakaan itu, mesin berhenti berproduksi dan perusahaan harus
mengeluarkan biaya pengobatan. Hal-hal semacam ini, bisa dihindari jika seluruh
karyawan mendemonstrasikan perilaku yang tepat ditempat kerja. Mengindahkan
peraturan perusahaan. Dan menyokong usaha perusahaan untuk mewujudkan zero
accident. Itu adalah contoh pelaksanaan demonstrasi sejalan dengan believes top
management yang pertama.
Productivity (believe kedua). Para karyawan harus menyadari
bahwa para pemegang jabatan tinggi diperusahaan harus mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya dihadapan para pemegang saham. Sedangkan ukuran realistis bagi
para pemegang saham adalah sampai sejauh mana uang yang diinvestasikannya
menghasilkan keuntungan. Itu berkaitan dengan produktivitas. Dibagian mana
karyawan bisa berdemo? Karyawan mengambil bagian dengan cara mendemonstrasikan
komitmen mereka untuk memperhatikan kualitas kerja dan penggunaan jam kerja
yang diamanatkan oleh perusahaan.
Misalnya, apakah sebagai seorang karyawan saat ini anda sudah
mengedepankan kualitas kerja daripada melakukannya secara asal-asalan? Jika
anda masih sering terlambat masuk ke kantor, atau mengambil waktu jam makan
siang lebih lama dari yang seharusnya, maka itu menunjukkan bahwa cara anda
bekerja menimbulkan jatuhnya tingkat produktivitas perusahaan. Jika
produktivitas perusahaan tetap rendah setelah pekerjaan itu diberikan kepada
Anda, maka tujuan top management tidak tercapai. Contoh lain yang terjadi di
kantor-kantor; seorang karyawan kepergok atasannya bermain games komputer pada
jam kerja. Karena itu, waktu kerjanya menjadi berkurang, dan tentu saja
produktivitas pun berkurang. Hal-hal semacam ini, bisa dihindari jika seluruh
karyawan mendemonstrasikan komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan. Bekerja sungguh-sungguh.
Dan menyokong usaha perusahaan untuk meningkatkan produktivitas. Itu adalah
contoh pelaksanaan demonstrasi sejalan dengan believes top management yang
kedua.
Competitiveness (believe ketiga). Para karyawan harus
menyadari bahwa perusahaan tidak akan bisa bertahan jika kalah bersaing dari
lawan-lawannya. Jadi, jika top management memaksa kita untuk tangguh dalam
bersaing sebenarnya mereka sedang memperjuangkan kepentingan kita juga.
Dibagian mana karyawan bisa berdemo? Karyawan mengambil bagian dengan cara
mendemonstrasikan kesediaan untuk mencurahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya, serta berupaya untuk terus menerus meningkatkan diri.
Misalnya, apakah sebagai seorang karyawan saat ini anda sudah
mengoptimalkan potensi diri anda dalam menangani pekerjaan? Juga perlu
direnungkan apakah Anda terus memacu diri untuk belajar dan mengasah keahlian?
Jika anda masih berkutat dengan sekedar memenuhi job-descriotion, maka itu
menunjukkan bahwa cara anda bekerja menempatkan perusahaan pada kelompok mediocre,
alias tidak memiliki keunggulan. Jika para karyawannya hanya bekerja sebatas
itu, maka tujuan top management tidak tercapai. Contoh lain yang terjadi di
lingkungan kerja adalah; seorang karyawan mengeluh ketika kepadanya diserahkan
tugas yang lebih banyak. Menurutnya, gaji kecil kok harus kerja banyak? Karena
sikapnya seperti itu, maka karyawan yang hebat diperusahaan lain akan dengan
sangat mudah mengalahkan mereka. Hal-hal semacam ini, bisa dihindari jika
seluruh karyawan mendemonstrasikan dedikasi yang tinggi kepada profesi dan diri
mereka sendiri. Mendorong proses pertumbuhan perusahaan. Dan menyokong usaha
perusahaan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. Itu adalah contoh
pelaksanaan demonstrasi sejalan dengan believes top management yang ketiga.
Tidak ada top management yang akan menentang jika Anda bisa
melakukan demo seperti itu. Artinya, itulah cara berdemo yang efektif bagi para
buruh. Sebab, ketika buruh bisa berdomo dengan cara seperti itu; maka
managament bukan sekedar bersedia memberikan gaji yang anda tuntut. Mereka akan
membayar anda jauh lebih tinggi dari itu. Memberi fasilitas yang melimpah.
Serta membuka kesempatan yang seluas-luasnya.
Yuk kita lihat beberapa artikel mengenai demo buruh yang
terjadi di Indonesia :
Mayday,
Buruh Jawa Barat Demo ke Jakarta
TEMPO.CO, Bandung - Dalam rangka memperingati Hari Buruh, May Day, para buruh di
Jawa Barat menuntut penghapusan praktek sistem kerja kontrak, menolak penangguhan pelaksanaan upah
minimun, dan menolak pemotongan gaji buruh sebanyak 2
persen untuk iuran BPJS.
"Kami juga menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM," kata Sekretaris SP LEM (Logam, Elektronik, dan Mesin) SPSI Kota Bandung, Rudy Rukmayadi, saat unjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, Rabu, 1 Mei 2013.
"Kami juga menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM," kata Sekretaris SP LEM (Logam, Elektronik, dan Mesin) SPSI Kota Bandung, Rudy Rukmayadi, saat unjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, Rabu, 1 Mei 2013.
Menurut dia, sebagian buruh dari Jawa Barat sejak kemarin
sudah menuju Jakarta. Mereka bergabung dengan rekan-rekannya untuk berunjuk
rasa ke Kementerian BUMN dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Kementerian BUMN menjadi sasaran unjuk rasa buruh,
kata Rudy, karena banyak pelanggaran aturan ketenagakerjaan, mulai soal upah
hingga penggunaan tenaga alih daya atauoutsourcing. "Seharusnya BUMN menjadi pelopor pelaksanaan aturan
ketenagakerjaan," kata dia.
Kelompok jurnalis juga meramaikan aksi buruh di Gedung Sate.
Ketua AJI Bandung, Zaky Yamani, mengatakan, persoalan yang dihadapi kelompok
buruh media relatif sama dengan buruh umumnya. Di antaranya soal upah layak;
kejelasan status perburuhan terutama bagi kontributor, koresponden, dan
sejenisnya; kebebasan berserikat; serta pemenuhan jaminan sosial bagi pekerja
media. "Pelanggarannya sudah di depan mata," kata dia.
Kepala Bagian Operasi Polrestabes Bandung, Ajun Komisaris
Besar Dicky Budiman, mengatakan, pihaknya berkonsentrasi melakukan
pengamanan di empat lokasi di Bandung, yakni di Gedung Sate, DPRD Kota Bandung,
Pengadilan Hubungan Industrial, dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa
Barat.
"Di Gedung Sate saja, polisi yang dikerahkan sebanyak
3.000 personel, sedangkan di lokasi lain dijaga oleh sekitar ratusan
petugas," kata Dicky.
Selama aksi berlangsung, ruas Jalan Diponegoro di depan
Gedung Sate ditutup polisi. Sejumlah kelompok buruh lainnya diperkirakan masih
akan mendatangi lokasi unjuk rasa tersebut.
Demo buruh masih terjadi, bagaimana nasib pengusaha?
Pada
hari buruh sedunia, atau yang lebih dikenal dengan May Day, puluhan ribu buruh
turun melakukan unjuk rasa di beberapa titik utama kota Jakarta. Buruh-buruh
itu berteriak di bawah terik matahari menuntut haknya. Puluhan pabrik rela
meliburkan produksinya agar proses demokrasi terus berlangsung.
Tahun
lalu, aksi unjuk rasa menjadi sorotan para investor yang akan menanamkan
modalnya di Indonesia. Bahkan, beberapa investor terkonfirmasi batal membuka
usahanya di Tanah Air.
Wakil
Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik Haryadi
B Sukamdani mengatakan saat ini demo buruh sudah tidak relevan lagi.
"Melihat
apa yang dituntut, selalu itu-itu saja. Upah murah. Itu dari mana? Padahal kita
sudah mencadangkan pesangon, jamsostek dan ditambah harus menaikkan upah
minimum buruh," ujar Haryadi kepada merdeka.com, Rabu (1/5).
Dia
mengatakan setidaknya perusahaan harus menyediakan 34 persen dari total belanja
sebagai cadangan ketenagakerjaan termasuk jaminan sosial dan pesangon.
"Jadi secara paket, kita (Indonesia) memang lebih besar upahnya
dibandingkan negara lain," kata dia.
Dengan
adanya demo buruh yang besar-besaran ini, Haryadi khawatir, malah akan
menurunkan penyerapan kerja. Contohnya adalah di bidang tenaga alih daya atau
outsourcing. "Kemarin tuntutannya soal outsourcing dikabulkan dan ada
beberapa peraturan yang harus direvisi. Dari revisi itu, banyak karyawan
outsourcing yang terpaksa harus di-PHK. Bayangkan berapa pengangguran bertambah
itu?" ujar dia. "Apa yang disuarakan dan di lapangan sudah tidak
sinkron," imbuh dia.
Akhir
tahun lalu, sekitar 10 perusahaan memutuskan untuk berhenti produksi lantaran
aksi demo yang dilakukan buruh cenderung merusak. Selain itu, pemerintah juga
dianggap angkat tangan dengan permasalahan tersebut, meninggalkannya di tangan
buruh dan pengusaha.
Selain
itu, untuk tahun ini, upah minimum buruh telah naik lebih dari 30 persen. Hal
tersebut membuat puluhan pengusaha merelokasikan pabriknya di daerah Jawa
Tengah dan Timur yang tidak menggunakan batasan upah minimum tersebut.